“Nomor 3?”
Setengah berbisik, seorang memanggil seraya jari-jarinya menyimbolkan angka 3.
Itulah cerita seorang teman tentang pengalaman pertamanya menempuh hari pertama ujian tengah semester, setelah kurang lebih 3 bulan yang lalu diterima menjadi mahasiswa di sebuh universitas dambaan semua orang, pasca sarjana lagi. Oh My God, bertanya, menyontek ataupun tindakan tidak jujur saat ujian memang tidak dibenarkan bukan hanya untuk mahasiswa pascasarjana, akan tetapi sejak playgroup hingga level S berapapun juga diharuskan untuk bersikap jujur saat ujian dan tentu saja dalam segenap aktivitas dikeseharian kita. Namun, hati ini semakin sakit, jiwa ini semakin terusik dan kalbu ini semakin tergoncang saat tahu ternyata justru mahasiswa pasacasarjana-lah yang notabene sebagai high educated people yang melakukan itu. Ah, yakin sekali, mereka pasti tahu mana hal yang baik, buruk, membanggakan, memalukan dan seterusnya. Pascasarjana man!
Masih cerita teman tadi, hari itu tampak mata-mata yang sedikit kemerahan dengan kantung mata yang cukup tebal, sebagai bukti kurang tidur alias begadang semalam. Pagi itu juga banyak bibir komat-kamit sibuk menghafal materi dari dosen. Entah belum sempat dihafal ataukah sudah dihafalkan semalam, namun hafalan tak sempat mengendap dan justru sudah menguap entah kemana. Semoga saja tidak hanya ingat tapi juga paham. “Banyak belajar banyak lupa, sedikit belajar sedikit lupa, ngga belajar ngga ada yang lupa”, begitu girauan teman satu kost untuk mengganggu teman yang sibuk belajar. Hm.. inikah potret mahasiswa kita? Masih tetap dengan system SKS-nya? Masih tetap sebagai penghafal dan bukan pembelajar?
Lain lagi cerita dari seorang sahabat. Masih tentang ujian yang selalu menjadi hari-hari istimewa bagi mahasiswa. Jam 09.00 teng, dosen pengampu mata kuliah bergelar doktor telah memasuki ruang ujian. Setelah selesai membagikan kertas ujian, beliau sekilas menjelaskan maksud soal, khawatir ada mahasiswa yang salah menginterpretasikan, salah ketik atau ada kesalahan teknis yang lain. Menit selanjutnya, dosen itu berlalu setelah meminta mahasiswa untuk menuliskan sebuah kalimat ajaib di bagian atas kertas jawaban:
Saya menyatakan bahwa,
Saya mengerjakan soal ujian ini sendiri dan tidak menyalahi aturan
Ttd
(Nama Lengkap)
Walhasil, ruang ujian itu sepi tanpa kehadiran seorang yang mengawasi ujian. Nyatanya, mahasiswa belum siap dengan kondisi ini. Menit-menit selanjutnya setelah dosen itu pergi, mahasiswa sudah sibuk dengan segala usahanya demi sebuah nilai A di KHS, atau agar dana beasiswa tetap bisa lancar mengalir ditahun kedua. “Beasiswa yang ku terima baru cair untuk tahun pertama, jika IP tidak bisa tembus minimal 3,25, matilah aku. Aku bisa mengundurkan diri, Biaya dari mana?” Pengakuan seorang kawan. Haruskah bersimpati atukah mengasihani ikhtiarnya yang keliru?
Saudara saya yang lain juga pernah mengeluh tentang teman-teman kelasnya yang “menteror” agar tidak bertanya saat presentasi di kelas. Plus “bisik-bisik tetangga” lengkap dengan tatapan sinis saat ada mahasiswa yang vokal mengajukan pertanyaaan-pertanyaan kritis. Hm.. bukankah dari pertanyaan-pertanyaan itulah yang akan menghasilkan karya luar biasa.. Kenapa harus takut saat ada jari yang mengacung? Meminjam istilah Aa Gym: Kalau saya tahu, saya akan menjawab, kalau saya tidak bisa, itu akan menjadi PR bagi saya dan saya akan berusaha maksimal untuk mendapatkan jawabannya. Simple bukan?
Saat ujian berlalu, complain, protes dan ketidakpuasan akan segera menjadi trend di kalangan mahasiswa setelah nilai dari dosen terpampang di papan nilai. Ada yang tersenyum penuh takjub, karena saat ujian tidak begitu maksimal, namun yang keluar adalah nilai paling keren sedunia, A. Ada yang resah, karena mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas, namun nilai yang diperoleh bisa sama dengan mereka yang begadang demi selesainya paper yang dosen minta. Ada yang sedih dengan rantai karbon-nya (istilah untuk nilai C yang berjejer di KHS) padahal saat ujian ia bisa melangkah dengan pasti. Well, mungkin dosen punya pertimbangan sendiri dalam memberikan nilai A, B, C hingga Z. Karena tidaklah bijak, saat nilai hanya ditentukan berdasarkan hasil ujian semata. Itu juga yang dikeluhkan teman-teman pelajar yang protes karena kelulusan hanya didasarkan pada nilai UAN saja. Hasil belajar selama 3 tahun, harus diukur dengan ujian selama 3 hari. Sangat mungkin pada saat hari yang menentukan itu, kita lagi sakit, badmood, ada masalah ataupun hal lain yang menyebabkan focus dan konsentrasi untuk ujian menjadi sirna. Sedangakan kalau dinilai dalam keseharian belajar, sang siswa cukup aktif, rajin dan berprilaku baik. Atau…. bisa juga dosen yang khilaf saat memberikan nilai. Dosen juga manusia, bukan? gudangnya salah dan alpa (mahasiswa, apalagi..?). Saudaraku, itulah jika engkau meminta penilaian dari manusia. Peluang untuk diperlakukan tidak adil, tidak objektif dan seterusnya sangat mungkin terjadi. Tapi akan berbeda dengan penilaian Allah yang dijamin sempurna, tidak akan kurang hingga 0,00000000000 sekalipun, sangat tepat, tidak pernah salah dan tidak ada cela. La tahzan dengan nilai yang tidak sesuai harapan. Allah tahu saat kita lelah mencari referensi, begadang bermalam-malam untuk belajar, pegelnya kaki ini melangkah bolak-balik ke perpustakaan, panasnya maya ini berjam-jam di depan laptop, kerasnya usaha kita, Allah tahu semuanya.. biarlah Allah yang menilai kita. The most important thing adalah kita paham dan tidak hanya sekedar A yang muncui di KHS. (sstt. Tapi Allah juga tahu saat kita nge-game berjam-jam didepan laptop).
Berbeda lagi dengan cerita adik tingkat dalam diskusi singkat melalui handphone yang bingung mengambil mata kuliah pilihan saat pengisisan KRS (Kartu Rencana Studi) tiba. “Mata kuliah X sesuai dengan bidangku, tapi dosennya killer, nilainya susah! Pelit sekali untuk memberikan nilai A. Nah, kalau mata kuliah Y dosennya enak nih Kak neranginnya, tapi ini nggak nyambung dengan bidangku, aku kan ngambil manajemen bukan processing. Atau mata kuliah ini aja.. eh tapi dosennya sering ngilang, kebanyakan proyek.. kelas sering kosong.” O ow! (kamu ketahuan…- Matta Band)
Hm.. jadi sedikit ilfeel dengan pascasarjana, dengan rentengan title … jika tahu proses untuk mendapatkan title harus demikian. Memang ini adalah oknum dan tidak bisa dipukul rata bahwa seluruh mahasiswa pasca seperti itu. Saat belajar statistika, hipotesa ini masih harus dibuktikan dengan ukuran sampel yang mewakili, rancangan percobaan yang tepat bahkan kenormalan dan keragaman data juga harus dipenuhi, hingga kesimpulan yang diambil tidak keliru. Tapi pilang tidak, dari cerita teman2, baik itu teman kost, teman pengajian, teman kampus juga menceritakan hal yang nggak berbeda, alias SAMA. Ya Rabbi.. semoga saja ini hanya satu diantara seribu.
Duhai mahasiswa, apakah yang engkau cari?
Sebuah nilai A-kah?
Rentengan title-kah?
Dana beasiswa-kah?
Robi’ah Al Adawiyah dalam bukunya Ngga Sekedar Ngampus, telah mengingatkan kita untuk bisa menjadi pembelajar, bukan penghafal. Menjadi pengilmu dan tidak sekedar pengumpul nilai atau pemburu sertifikat seminar dan pelatihan. Memang tidak bisa dinafikkan bahwa nilai juga penting, Tapi dosen Statistika saya (Semoga Allah SWT. merahmati beliau) pernah “menenangkan”. Jika kita paham, maka nilai A itu pasti akan diperoleh dengan sendirinya. Ataukah kita akan lebih memilih rentetan nilai A di KHS namun saat anak SMA bertanya, sang master dan sang doktor masih kebingungan untuk mencari jawaban yang tepat…?
Allah berjanji akan mengangkat derajat hambaNya yang berilmu
dan janji Allah adalah pasti..
Selamat Belajar dan Terus Belajar!
Lagi belajar nulis
ria@alkahfia (Maria Ulfa - alumni TIP)