Selasa, Juni 26, 2012

Hikmah Haji: Renungan dan pengalaman pribadi

Oleh: Uswatun Hasanah
PENGANTAR
Sebagaimana kita ketahui ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima (setelah mengikrarkan dua kalimah syahadat, shalat, puasa dan menunaikan zakat). Jadi haji hukumnya wajib bagi yang mampu. Hukum wajib disini bukan hanya sekedar dipahami sebagai ‘mendapat pahala jika dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan’ dalam pengertian yang sempit, tapi marilah kita kembangkan pemahaman ibadah yang diwajikan ini dari sisi pendidikan akhlak dibalik amaliah ritualnya. Tentang ‘pahala dan dosa, surga-neraka‘ sementara tidak kita pikirkan karena bukan ranah kita sebagai makhluk tapi kita pasrahkan sepenuhnya pada Allah sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Adil. Yang perlu kita pikirkan dan pahami adalah bahwa yang diwajibkan Allah kepada kita tentang rukun islam yang lima tidak lain adalah sebagai PAKET PENDIDIKAN (Modul Mata Kuliah Wajib) dari Allah sang Pencipta, Maha Guru kepada makhlukNYA sebagai pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
PAKET PENDIDIKAN (Rukun Islam) ini diberikan sang Maha Guru yang kasih sayangNya tanpa batas kepada kita makhlukNya (sang murid) dengan pesan-pesan penting dalam bentuk simbol-simbol dalam ritual ibadah demi kepentingan kita selama hidup di dunia dan akhirat yang baik. Kita sebagai murid harus selalu belajar tanpa henti memaknai dan memahami PAKET PENDIDIKAN ini seiring dengan perkembangan pemikiran kita agar limpahan kasih sayangNya dapat kita tangkap dan nikmati setiap saat. Selanjutnya pesan-pesan penting dariNya diikhtiarkan mewujud dan terproyeksikan dalam perbuatan keseharian kita dan limpahan kasih sayangNya yang tercurah ke kita mengalir ke sekitar dan akan terasakan indahnya hidup ini, MaasyaAllah.
Ibadah Haji adalah rukun Islam terakhir yang waktu dan tempat pelaksanaannya tertentu dan kebetulan jauh dari tempat tinggal kita, sehingga pengalaman dan pemahaman tentang ritual haji sangat terbatas setidaknya bagi diri pribadi saya sendiri. Menyadari keterbatasan ini dan meyakini bahwa Allah menghendaki ‘sesuatu’ lewat prosesi haji serta yang diwajibkan hanya sekali seumur hidup maka saya berburu buku untuk dapat menangkap pesan-pesan penting dalam ritual haji sebelum saya berangkat melaksanakannya. Dalam proses berburu inilah saya mudah dan sering menangis, mengagumi sang Maha Guru dalam mendidik makhlukNya dengan kesempurnaan yang tiada tara karena tidak mungkin saya ketahui dan rasakan tanpa saya pergi haji. Dari pengalaman ini saya merasakan betapa pentingnya bekal ilmu dan pemahaman makna simbolik ritual haji sebelum berangkat.
Pemahaman dan pengalaman pribadi yang terbatas inilah yang akan saya share kepada teman-teman.
Hikmah I
MIQAT
Batas Kehidupan (Waktu dan Ruang)
Dalam hidup berumah tangga, bagi saya pergi haji merupakan prioritas kedua setelah memiliki rumah tinggal. Kenapa demikian? Saya ingin mendahulukan kebutuhan yang pokok (hal yang diwajibkan) sedini mungkin agar segera menikmati hidup secara tenteram damai. Untuk mewujudkan ini perlu perjuangan karena bagi kami ongkos haji tidak sedikit dan juga ada yang mengganjal dalam pikiran terkait dengan taqdir sebagai wanita yaitu mensturasi dan pengasuhan anak selama ditinggalkan. Karena saya ingin kesempurnaan dalam melaksanakan ibadah dan alamiah dalam memenuhi panggilaNya. Alhamdulillah, Dia yang Maha Pemberi Petunjuk melalui berbagai tausiah dan bacaan-bacaan, mengantarkan pada keyakinan bahwa apa yang ditaqdirkan kepada saya sebagai wanita maupun ibu bukanlah penghalang karena sejatinya sang Maha Guru akan memberikan pelajaran kepada muridNya sesuai kebutuhan dan kemampuannya dan Dialah yang Maha Tahu. Atas ijinNya saya mendaftar pada bulan Februari 2000 dan berangkat awal 2001. Ada hal unik dan luar biasa sebenarnya pada proses mendaftar hingga menjelang keberangkatan, tapi tidak perlu diceritakan disini supaya tidak terlalu panjang dan bersifat sangat pribadi.
Sebelum berangkat haji muncul pikiran nakal dalam diri saya sebagai murid:’apa sih sebetulnya yang ingin disampaikanNya lewat prosesi haji?. Setelah pergi haji, barulah saya mendapatkan jawaban bahwa : Haji adalah ‘Workshop Agung’ yang dirancang oleh Allah SWT berisi rangkuman amalan yang sarat dengan simbol-simbol yang harus diproyeksikan ke dalam kehidupan untuk mencapai insan muttaqin.
Marilah kita simak satu persatu materi ‘Workshop Agung’ ini dan sebelumnya , agar materi workshop dapat dicerna, dipahami dan dinikmati dengan baik maka sebelum mendaftar haji sebaiknya luruskan dulu motivasi berhaji, yaitu tulus karena Allah serta komitmen yang kuat untuk perbaikan diri.
Materi workshop tak lain adalah rukun haji itu sendiri yang meliputi :
I MIQAT
Miqat, secara harfiah berarti batas. Dalam prosesi haji, miqat dibagi 2 yaitu miqat Zamani ( batas waktu yaitu syawal – dzulhijjah) dan miqat Makani( batas tanah atau tempat. Bir Ali dari arah Madinah dan Yalamlam, sebuah bukit di sebelah selatan Mekah, merupakan miqat bagi jama’ah yang datang dari arah Yaman dan Asia serta tempat-tempat miqat yang lain yang bisa dijumpai dibuku manasik).
Pemahaman makna miqat dalam prosesi haji ini sangat menarik. Sejak awal mendaftar haji, setiap jemaah telah mempersiapkan diri dalam rangka memenuhi panggilan Allah. DitaqdirkanNya kita hidup didunia ini sejatinya adalah perjalanan menuju panggilanNya, yang dibatasi oleh waktu yaitu sebatas umur hidup kita dan ruang sebatas bumi kita berpijak. Dalam batasan waktu dan ruang inilah Allah memberi guideline, pedoman hidup agar dalam menapaki waktu dan tempat, hidup tidak sia-sia dan sesat. Guideline itu tergambar dalam prosesi haji yang akan dibahas berikutnya.
Bersambung…………….. (biar tidak terlalu panjang)

Kamis, Juni 14, 2012

Allah Maha Kaya dan Maha Penyantun


Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Al Baqarah 263:
“Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik darisedekah yang diiringi sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Maha kaya lagi Maha Penyantun”
Sifat Allah Maha Kaya dan maha Penyantun terangkai sekaligus dalam ayat ini, suatu yang mestinya ada pada diri orang-orang yang memperoleh kelebihan dari Allah SWT. Penggabungan dua sifat yang sangat indah.
Allah Maha Kaya arena Allah lah yang memiliki langit dan bumi dengan segala isinya. Kita diberi kesempatan oleh Allah sebagai makhluk yang mulia agar mampu mengolah sumberdaya alam yang disediakan Allah untuk kita semua.
Kemampuan manusia untuk mengolah alam sering menjadikan manusia serakah, seakan semua yang ia usahakan adalah hasil perjuangannya sehingga ia anggap aneh jika orang lain harus mendapatkan dari jerih payahnya.
Ia lupa bahwa semua yang ada di bumi dan langit adalah milik Allah SWT. Bahkan sebenarnya ia juga tak akan dapat memperoleh sesuatu tanpa adanya campur tangan orang-orang disekelilingnya baik secara langsung atau tidak langsung.
Oleh sebab itu, sifat penyantun menjadi hal yang penting untuk kita miliki.
Sifat penyantun dapat diartikan sebagai sifat yang andap asor, sifat yang tidak menonjolkan diri, sifat yang menghormati dan menghargai orang lain. Seorang yang santun umumnya disenangi dan disegani orang lain.
Kata menyantuni diarikan memberikan sesuatu kepada yang lain dengan penuh kasih. Menyantuni sering diartikan memberikan sesuatu kepada kelompok yang sering kita anggap lebih rendah posisinya misal menyantuni anak yatim , menyantuni fakir miskin dan sebagainya. Oleh sebab itu sedekah yang diiringin dengan kata-kata yang menyakitkan tidak dapat dikatakan menyantuni dan bukan perbuatan santun jauh dari sifat santun. Sehingga amatlah tepat ketika ayat ini dimulai dengan “Perkataan yang baik dan pemberian maaf – dua sifat yang menunjukkan jiwa yang santun lebih baik dari sedekah – pemberian dari orang yang memeiliki kelebihan/kaya – yang diiringi sesuatu yang menyakitkan – bentuk lain kesombongan, suatu sikaf yang dibenci Allah.
Semoga Allah member kita sifat santun sehingga kita menjadi santun dalam perbuatan dan mampu menyantuni dengan harta yang diamanahkan kepada kita.
Ya Allah hanya kepada-Mu lah kami memohon.

Jumat, April 13, 2012

al Qur'an untuk yang bertakwa

Selama ini kita selalu mengatakan bahwa Al Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia baik yang beriman ataupun yang tidak. Hal ini sering dikaitkan oleh keyakinan bahwa Al Qur’an adalah kitab yang dibawa oleh Nabi akhir Jaman yaitu Rasulullah SAW. Benarkah demikian?

Dalam Al Qur’an mungkin kita menemukan banyak penjelasan dan saya juga bukan ahli tafsir. Hanya saya akan lebih memfokuskan pengertian awal yaitu sebagaimana tertera dalam Al Qur’an Al Baqarah ayat 2: “Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa”

Disini kita sebagai umat Islam sudah semestinya tidak ragu sedikitpun terhadap kandungan Al Qur’an dan menjadikannya sebagi petunjuk. Sayangnya kadang kita lebih sering menjadikan Al Qur’an sebagai bacaan atau hafalan untuk memperoleh pahala dan bukan menjadikannya petunjuk dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita banyak mengandalkan kemampuan diri atau bantuan orang lain. Kita lebih kagum pada kata-kata para motivator dibandingkan dengan apa yang teedapat dalama Al Qur’an. Dan hanya orang – orang yang bertakwalah yang menggunakan Al Qur’an sebagai petunjuk. Siapa orang yang bertakwa itu? Al Qur’an menyebutkan dalam banyak ayat. Namun setidaknya dapat kita lihat di ayat berikutnya: (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka (Al Baqarah:3) .

Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa orang bertakwa adalah mereka yang beriman kepada yang gaib. Suatu halyang sering diabaikan oleh orang-orang yang merasa dirinya adalah orang berpengetahuan atau sering menyebut dirinya orang cerdik pandai. Allah adalah hal yang gaib begitu juga dengan apa yang ditakdirkan kepada kita. Hanya mereka yang menggunakan hatinya yang mampu mendalami dan meyakini bahwa apa yang ada adalah bagian dari hal yang gaib. Ini memiliki implikasi bahwa orang yang bertakwa selalu penuh harap dan do’a. ia tidakmenjadi sombong terhadap apa yang ia peroleh karena ia yakin semua adalah atas kehenda-Nya. Oleh sebab itu sangatlah wajar kalau cirri orang beriman yang kedua adalah mereka yang mendirikan shalat.

Orang mukmin yang mendirikan shalat pada hakekatnya adalah mereka yang mempercayai hal yang gaib dan menjadikan Al Qur’an sebagi petunjuknya. Mendirikan shalat hanya dilakukan oleh mereka yang benar-benar yakin. Mereka tidak sekedar menjalankan ibadah shalat semata tapi menjadikan shalat sebagai langkah hidupnya. Ia benar-benar melangkah dari apa yang ia do’akan dalam shalat atau sesudahnya kemudian melakukan kehidupan. Ia menyempurnakan shalatnya dengan shalat sunah. Sehingga alangkah anehnya jika kita menyebut diri sebagai orang bertakwa tapi lalai dalam shalat termasuk shalat sunah di dalamnya. Hanya orang-orangyang berimanlah yang mampu melakukan shalat sunah. Banyak dari kita tidak melaksanakan shalat sunah dengan anggapan itukan bukan wajib jadi kita tidak harus melaksanakan. Sama dengan ketika ditegur bahwa merokok itu tidak baik, maka ia bilang kan merokok itu makruh kenapa saya harus meninggalkan kan bukan haram?

Tingkatan kita dalam bertakwa menunjukkan sejauh mana kita melaksanakan yang sunah dan meninggalkan yang makruh. Tingkat yang rendah adalah yang hanya menjalankan yang wajib dan meninggalkan yang haram dengan tidak melaksanakan yang sunah. Semoga kita tidak lebih rendah dari itu.

Setelah ada kesadaran bathin sehingga mampu mendirikan shalat maka langkah tersebut akan dicerminkan dalam keikhlasan dalam bersedekah dari rizki yang kita terima. Rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya menjadikan kita suka bersedekah karena kita yakin semua adalah dari Allah dan dalam harta kita ada bagian dari orang miskin. Itulah bukti kita sebagai insan yang bertakwa.

Maaf bila ada yang tidak berkenan dan sekali lagi ini bukanlah tafsir tapi pencerahan diri untuk menjadi lebih baik dengan memahami dan mengamalkan ayat-ayat dari Allah SWT yang tertulis dalam Al Qur’an.

wassalam

Kamis, Januari 19, 2012

Shalat Diwaktu Rapat

peliharalah segala shalat(mu) dan (peliharalah) shalat wustha’. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’ (QS Al Baqarah: 238)”

Shalat adalah kewajiban bagi setiap muslim setelah kita bersyahadat. Dalam keseharian dan dengan alas an berbagai kesibukan dunia, seringkali dalam melaksanakan shalat kita terkesan sekedar melaksanakan kewajiban, bukan memelihara shalat.

Perintah “peliharalah segala shalat(mu)” mengindikasikan adanya kecenderungan kita untuk tidak shalat dengan benar. Memelihara shalat mestinya kita maknai bahwa kita mempersiapkan diri dengan baik sebelum menjalankan shalat. Sebelum shalat kita laksanakan, maka kita menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada pengabaian menuju shalat.

Persiapan dan menjaga diri yang paling berat adalah disaat siang dan sore hari karena waktu tersebut adalah waktu yang paling sibuk bagi manusia untuk urusan dunia.

Waktu shalat Dhuhur dan Ashar sering terabaikan dengan segala kesibukan. Jangankan mempersiapkan, bahkan sering kali terlewatkan atau setidaknya kita melaksanakan shalat dengan tergesa-gesa. Saat waktu shalat datang, kadang rapat sedang seru-serunya sehingga tidak mungkin ditinggalkan. Seringkali ketika terdengar kumandang adzan, rapat dihentikan sejenak dan saat adzan usai kegiatan berlangsung kembali dan bukannya mengerjakan shalat.

Tentunya akan lebih nikmat jika saat terdengar adzan berkumandang, rapat dihentikan untuk mempersiapkan shalat berjamaah dan setelah itu rapat dapat dilangsungkan kembali. Andai cara ini dilakukan mungkin kita kita akan semakin memahami “berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk”karena seluruh peserta rapat ikut berjamaan dan masuk kembali dengan kecerahan hati.

Mampukan kita memelihara shalat dan berdiri dengan khusyuk disaat kita sibuk sehingga kita mamapu memelihara shalat Wusthaa?

Hanya hati dan kemauan diri kita yang harus menjawab.

Semoga kita mampu memelihara shalat dan tidak sekedar mengerjakan shalat

Mohon maaf jika ada salah dalam memahaminya, karena ini memang bukan tafsir tapi mencoba memahami ayat-ayar Al Qur’an dari hidup keseharian.

Senin, Januari 09, 2012

3. Al Ghaniy (Maha kaya) dan Al Haliim (Maha Penyantun)

Al Ghaniy (Maha kaya) dan Al Haliim (Maha Penyantun)

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Al Baqarah 263:

"Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik darisedekah yang diiringi sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Maha kaya lagi Maha Penyantun"

Sifat Allah Maha Kaya dan maha Penyantun terangkai sekaligus dalam ayat ini, suatu yang mestinya ada pada diri orang-orang yang memperoleh kelebihan dari Allah SWT. Penggabungan dua sifat yang sangat indah.

Allah Maha Kayak arena Allah lah yang memiliki langit dan bumi dengan segala isinya. Kita diberi kesempatan oleh Allah sebagai makhluk yang mulia agar mampu mengolah sumberdaya alam yang disediakan Allah untuk kita semua.

Kemampuan manusia untuk mengolah alam sering menjadikan manusia serakah, seakan semua yang ia usahakan adalah hasil perjuangannya sehingga ia anggap aneh jika orang lain harus mendapatkan dari jerih payahnya.

Ia lupa bahwa semua yang ada di bumi dan langit adalah milik Allah SWT. Bahkan sebenranya ia juga tak akan dapat memperoleh sesuatu tanpa adanya campur tangan orang-orang disekelilingnya baik secara langsung atau tidak langsung.

Oleh sebab itu, sifat penyantun menjadi hal yang penting untuk kita miliki.

Sifat penyantun dapat diartikan sebagai sifat yang andap asor, sifat yang tidak menonjolkan diri, sifat yang menghormati dan menghargai orang lain. Seorang yang santun umumnya disenangi dan disegani orang lain.

Kata menyantuni diarikan memberikan sesuatu kepada yang lain dengan penuh kasih. Menyantuni sering diartikan memberikan sesuatu kepada kelompok yang sering kita anggap lebih rendah posisinya misal menyantuni anak yatim , menyantuni fakir miskin dan sebagainya. Oleh sebab itu sedekah yang diiringin dengan kata-kata yang menyakitkan tidak dapat dikatakan menyantuni dan bukan perbuatan santun jauh dari sifat santun. Sehingga amatlah tepat ketika ayat ini dimulai dengan “Perkataan yang baik dan pemberian maaf (dua sifat yang menunjukkan jiwa yang santun) lebih baik dari sedekah ( pemberian dari orang yang memeiliki kelebihan/kaya) yang diiringi sesuatu yang menyakitkan ( bentuk lain kesombongan, suatu sikaf yang dibenci Allah).

Semoga Allah member kita sifat santun sehingga kita menjadi santun dalam perbuatan dan mampu menyantuni dengan harta yang diamanahkan kepada kita.

Ya Allah hanya kepada-Mu lah kami memohon.