Rabu, November 16, 2011

ANTARA BANTAHAN DAN GHIBAH

Oleh :

Abu Abdirrahman bin Thayib, Lc.

Sering kita mendengar perkataan sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang membantah/menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/dai-dai yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal jama’ah), dia mengatakan (entah dimimbar-mimbar jum’at atau dimajlis-majlisnya) : “Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah (ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman : ‘Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?’”. (QS. Al-Hujurat : 12).

Apakah benar perkataan mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian ucapan-ucapan emas (penjelasan) para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat menikmati -semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya- :

1. Imam Nawawi v (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” :

“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :

a. Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.

b. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia/dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.

c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya? dll. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hasits Hindun -insya Allah-

d. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati. Yang demikian itu mencakup beberapa hal:

- Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.

- Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya dll. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatupun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.

- Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.

- Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai dll. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan

e. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya-pent)

f. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.

Minggu, November 13, 2011

Bangsa Wirausaha

HD. Iriyanto

(Inspirator Metamorphosis; Dosen STMIK AMIKOM Yogyakarta)

Salam Metamorfosa, Salam Perubahan…

Sabtu malam, 29 Oktober 2011. Bertempat di MT. Haryono Square Jakarta, saya dan beberapa rekan lain dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, diundang untuk menerima anugerah dari PT. Cordova Indonesia. Di backdrop yang berwarna merah putih terpampang tulisan yang menggugah, ‘We Are Entrepreneur Nation.’ Iringan musik yang disajikan sebelum acara dimulai, kental dengan nuansa nusantara. Ada irama Melayu, Sunda, Jawa, dan lain-lain.

Malam itu memang terasa Indonesia banget. Lagu Indonesia Raya berkumandang mengawali acara. Begitu pula lagu-lagu wajib selalu mengiringi acara penganugerahan, saat satu persatu peserta dipanggil untuk tampil di panggung menerima penyematan pin dan karangan bunga. Dalam kata sambutannya, Presiden Direktur PT. Cordova Indonesia, mengungkapkan bahwa apa yang sedang kami lakukan bukanlah sekedar menjalankan bisnis. Tetapi sedang bersama-sama membangun karakter. Yakni membangun karakter sebagai bangsa pengusaha.

Para pembaca yang siap berubah menjadi lebih baik…

Mentransformasi karakter diri sebagai bangsa wirausaha, yang lebih kreatif, lebih ulet dan lebih produktif, memang terasa menjadi kian mendesak. Bukan saja karena rasio jumlah wirausaha dengan jumlah penduduk masih sangat minim, tetapi juga karena selama ini kita terus terlena dan terninabobokkan sebagai bangsa konsumtif. Akibatnya kita terus-terusan menjadi pasar dan sasaran tembak yang empuk bagi produk-produk asing.

Proses transformasi karakter dari pembeli ke penjual, dari konsumtif ke produktif, tentu saja tidak seperti membalik telapak tangan. Ia selalu membutuhkan waktu. Tetapi berusaha untuk meningkatkan akselerasi juga menjadi sebuah pilihan yang mungkin saja kita lakukan. Lalu dari mana proses akselerasi itu kita mulai?

Pertama, tentu saja dari lingkungan keluarga. Mental dan jiwa wirausaha harus terus diajarkan dan diajakkan oleh setiap orangtua kepada anak-anaknya. Sehingga orangtua tidak perlu malu jika, misalnya, anaknya pergi ke sekolah sambil berjualan sesuatu.

Yang kedua adalah lingkungan pendidikan, baik formal maupun non formal. Ini berarti sejak PAUD hingga Perguruan Tinggi, sejak sekolah umum sampai dengan sekolah alternatif, sama-sama memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan karakter anak didik sebagai bangsa wirausaha. Dari aspek kurikulum maupun praktek pembelajaran, harus saling menguatkan, agar mental dan jiwa wirausaha menjadi kian dimiliki oleh peserta didik.

Dan yang ketiga harus ditumbuhsuburkan di lingkungan birokrasi pemerintahan dan dunia perbankan. Dukungan dalam bentuk kebijakan atau peraturan yang memberi kemudahan akses permodalan dan pemasaran produk/jasa kepada para wirausaha, harus terus diperkuat secara sungguh-sungguh. Khususnya kepada para wirausaha yang secara riil berupaya untuk mengangkat daya saing produk lokal terhadap produk-produk asing. Dengan demikian, ketika Presiden meminta jajaran TNI untuk melengkapi alutsista (alat utama sistem senjata) dengan produk-produk bangsa sendiri saat berkunjung ke PT. Dirgantara Indonesia, pantas untuk kita beri dukungan sepenuhnya. Keep spirit & be better.

Kamis, November 10, 2011

cara menyiasati bau tajam mengkudu

Buah ini adalah buah yang paling laris untuk pengobatan. Konon, mengkudu memiliki khasiat untuk menyembuhkan bermacam-macam penyakit, di antaranya adalah penyakit darah rendah, darah tinggi, arthritis, alergi, kanker, diabetes, stroke, jantung koroner, dan lain-lain.

Buah ini biasa bertekstur padat dan keras, berwarna putih kekuningan saat masih mentah, dan akan berubah menjadi kekuningan saat sudah mulai tua. Semakin tua, buah ini akan menimbulkan aroma tidak sedap yang tajam yang disebabkan oleh campuran antara bau asam kaproat dan bau asam kaprik.

Karena itulah banyak orang merasa enggan untuk mengkonsumsinya karena baunya yang tidak enak.

Untuk mengurangi bau yang tidak enak saat dibuat jus, pilihlah buah mengkudu yang sudah masak tetapi masih berwarna hijau. Buah mengkudu yang seperti itu memiliki kandungan bioaktif yang paling tinggi, namun baunya yang tidak enak berada dalam kadar yang terendah.

Saat membuat jus, Anda dapat mencampurnya dengan buah-buahan yang lain seperti anggur atau apel sehingga aromanya yang tidak sedap ini dapat berkurang. Yang perlu diingat adalah jangan mengkonsumsi jus mengkudu bersama dengan air kopi, teh, atau minuman berakohol.

Khasiat jus mengkudu akan mulai tampak setelah Anda mengkonsumsinya selama beberapa hari.

Semoga tips ini berguna
Salam sejahtera

Tim Makanan.us & ResepMasakan.us

Selasa, November 01, 2011

Empat bekal Spiritual Ibadah Haji

Kultum subuh Ust Khusnul Fathoni
(Ahad, 23 Oktober 2011)

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (lillah), yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS 3:97)

"Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (QS 2:197)

Ibadah haji adalah ibadah istimewa. Oleh karena itu perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak cukup dengan mempelajari manasik haji, tetapi perlu juga difahami dan dihayati bekal spiritual yang diperlukan untuk kesempurnaan ibadah haji tersebut. Paling tidak ada empat bekal spiritual yang diperlukan dalam melaksanakan ibadah haji:

1. Bekal niat.
Niat sangat menentukan dalam kehidupan kita, termasuk ibadah haji. Tak ada satu ayatpun dalam Al Quran yang secara tersurat menekankan niat melaksanakan suatu ibadah, kecuali ibadah haji. “… walillahi ‘alaannaasi hijjul bayti manistathaa’a lilyhi sabbiilaan wa man kafara fainnallaha ghaniyyun ‘anil ’aalamiina” (QS 3:97). Perintah untuk ibadah-ibadah lain seperti shalat, puasa, zakat, tidak ada kata "lillah" (karena Allah) seperti itu.
Bekal utama dan pertama yang diperlukan dalam melaksanakan ibadah haji adalah niyat ikhlas semata-mata mencari ridla Allah. Jangan heran kalau salah memasang niyat, jangan-jangan ibadah kita itu ditolak Allah. Bayangkan kalau kita bertamu ke rumah orang, lalu tuan rumah menolak kehadiran kita... Sebaliknya, kalau niyat kita benar maka Allah menyatakan "Orang yang pergi berhaji adalah tamuKu, apapun yang diminta pasti Aku berikan..." Jadi janganlah kita berangkat haji hanya karena ingin mendapat gelar "haji", prestise, atau hal-hal lain. Kita harus ikhlas karena Allah.
Menurut ulama tasawuf ada 3 klasifikasi derajat keikhlasan seseorang, yaitu:
a. Ikhlasul 'abdi (keikhlasan buruh pada majikannya), yaitu ikhlas karena mengharapkan balasan berupa upah, gaji, bonus dsb. Ini derajat yang paling rendah. Misalnya mengharapkan pahala 100 ribu kali lipat kalau shalat di Masjidil Haram. Menurut Nurcholish Madjid, jangan jadikan pahala itu sebagai tujuan, tapi jadikanlah sekadar motivasi.
b. Ikhlasul muhibbin (keikhlasan seseorang kepada apa yang dicintainya). Keikhlasan ini setingkat lebih tinggi, rela mengerjakan perintah karena kecintaannya pada yang menyuruh.
c. Ikhlasul 'aarifiin (keikhlasan orang-orang yang arif), yaitu taat melakukan sesuatu bukan karena mengejar pahala dan mengharapkan surga atau takut neraka, tetapi karena semata-mata mengharapkan ridla Allah.

2. Bekal taqwa.
Bekal taqwa dalam berhaji ini disuruh langsung oleh Allah dalam firman QS 2:197 di atas: "Berbekallah kamu, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa, bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (uulil albaab)".
Mengapa tidak cukup bekal ikhlas saja, tetapi harus pula disertai dengan bekal taqwa? Karena dalam ibadah haji ini merupakan "ta'abudi" (ibadah yang menuntut ketaatan secara penuh/total, tidak ada tawar-menawar, tidak boleh ditambah, tidak boleh dikurangi). Ibadah haji tidak perlu dirasional-rasionalkan, karena banyak yang tidak mungkin dirasionalkan. Karena sejak berangkat, mengenakan pakaian ihram dari miqat, kita sudah harus melepaskan symbol-simbol prestise berupa pakaian kita, semata-mata karena ketaatan kita pada Allah swt. Juga melaksanakan thawaf tujuh kali berjalan keliling Ka’bah, dan sa’I berjalan dari Shafa ke Marwah tujuh kali, semuanya harus kita laksanakan semata-mata karena ketaatan kita pada Allah swt. Pengamat Barat mengatakan bahwa tidak ada ritual ibadah yang demikian ditaati sepenuhnya selain ibadah haji. Tanggal 8 Dzulhijjah, semua jamaah meninggalkan Makkah menuju Mina, dan tanggal 9 Dzulhijjah semuanya menuju Arafah. Tidak ada alasan untuk tidak menaatinya.

3. Bekal sabar dan tawakkal.
Sabar dan tawakkal ini selalu bergandengan. Bekal ini sudah harus kita miliki mulai kita berangkat meninggalkan rumah, menuju asrama haji Sukolilo... Di sana keadaannya tentu berbeda dengan rumah kita, semua harus antre, masuk kamar yang berisi 3-4 tempat tidur susun berkasur tipis, semalam menginao di sana... kita rasakan bagaimana nyamuknya, bagaimana gerahnya udara, dsb. Kita menerima paspor, kartu kesehatan, boarding pass, living cost, dicek satu-persatu, harus antre. Diperlukan kesabaran... Masuk ke bus-bus yang ditentukan, juga harus sabar, menunggu semua penumpang lengkap 1 kloter (450 orang) bus baru bisa berangkat. Di pesawat pun juga harus sabar. Dalam perjalanan yang makan waktu sekitar 10 jam itu dituntut kesabaran. Mendarat di bandara King Abdul Aziz, juga dituntut kesabaran, karena semua penumpang dicek satu persatu paspornya, menunggu dan mencari koper masing-masing, perlu kesabaran. Di pemondokan pun dituntut untuk sabar, karena mungkin saja kita terpisah dari kelompok kita. Semuanya harus kita terima dengan penuh kesabaran dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah.

Berserah diri pada Allah (tawakkal) akan memberikan ketenangan dan kekhusyukan dalam beribadah. Jangan sampai apa yang kita tinggal di tanah air mengganggu kekhusyukan dalam beribadah.

4. Bekal penghayatan makna dan pesan moral haji.
a. Al hajj madrasatul hayat (Ibadah haji adalah pelajaran hidup). Dalam ibadah haji kita dapat mempelajari kehidupan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Ibu Siti Hajar, Nabi Muhammad, penduduk Mekkah dan Madinah, bahkan bangsa-bangsa lain dari seluruh penjuru dunia yang tentunya sangat berbeda dengan kita dalam hal warna kulit, postur tubuh, bahasa, cara berpakaian, dll. Oleh karena itu sepulang haji nanti kita seharusnya menjadi paling dewasa dalam menghadapi perbedaan-perbedaan.
b. Ali Syariati mengatakan, haji adalah merupakan proses evolusi sempurna menuju Allah. Proses ini kita lalui sebagai manusia. Jangan berhenti hanya "sebagai" manusia, tetapi terus berproses untuk "menjadi" manusia sempurna ketika menuju Allah nanti.
c. Wuquf di padang Arafah, harus difahami sesuai makna sebenarnya wuquf, yaitu mewakafkan hidup kita ini kepada Allah swt, sebagaimana doa iftitah yang kita baca pada saat shalat: "inna shalaati wa nusukii, wamahyaaya, wama maati lillaahi rabbil 'aalamiin (sesungguhnya dhalatku, ibadatku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah seru sekalian alam)".
Sedangkan "arafah" artinya mengenal (ta'aruf). Di situ kita berkesempatan untuk lebih mengenal Rabb (Tuhan) kita, mengenal nafs (diri) kita, mengenal (urusan) dunia kita, dan mengenal musuh-musuh kita. Oleh karena itu sebaiknya kita isi saat-saat wuquf di Arafah itu dengan bermuhasabah (evaluasi diri), dan banyak-banyak berdoa untuk diri kita, keluarga kita, karib kerabat kita, bangsa kita dsb, termasuk doa-doa yang dititipkan oleh sanak saudara kita...

Wallahua'lam