Selasa, November 01, 2011

Empat bekal Spiritual Ibadah Haji

Kultum subuh Ust Khusnul Fathoni
(Ahad, 23 Oktober 2011)

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah (lillah), yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS 3:97)

"Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”. (QS 2:197)

Ibadah haji adalah ibadah istimewa. Oleh karena itu perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, tidak cukup dengan mempelajari manasik haji, tetapi perlu juga difahami dan dihayati bekal spiritual yang diperlukan untuk kesempurnaan ibadah haji tersebut. Paling tidak ada empat bekal spiritual yang diperlukan dalam melaksanakan ibadah haji:

1. Bekal niat.
Niat sangat menentukan dalam kehidupan kita, termasuk ibadah haji. Tak ada satu ayatpun dalam Al Quran yang secara tersurat menekankan niat melaksanakan suatu ibadah, kecuali ibadah haji. “… walillahi ‘alaannaasi hijjul bayti manistathaa’a lilyhi sabbiilaan wa man kafara fainnallaha ghaniyyun ‘anil ’aalamiina” (QS 3:97). Perintah untuk ibadah-ibadah lain seperti shalat, puasa, zakat, tidak ada kata "lillah" (karena Allah) seperti itu.
Bekal utama dan pertama yang diperlukan dalam melaksanakan ibadah haji adalah niyat ikhlas semata-mata mencari ridla Allah. Jangan heran kalau salah memasang niyat, jangan-jangan ibadah kita itu ditolak Allah. Bayangkan kalau kita bertamu ke rumah orang, lalu tuan rumah menolak kehadiran kita... Sebaliknya, kalau niyat kita benar maka Allah menyatakan "Orang yang pergi berhaji adalah tamuKu, apapun yang diminta pasti Aku berikan..." Jadi janganlah kita berangkat haji hanya karena ingin mendapat gelar "haji", prestise, atau hal-hal lain. Kita harus ikhlas karena Allah.
Menurut ulama tasawuf ada 3 klasifikasi derajat keikhlasan seseorang, yaitu:
a. Ikhlasul 'abdi (keikhlasan buruh pada majikannya), yaitu ikhlas karena mengharapkan balasan berupa upah, gaji, bonus dsb. Ini derajat yang paling rendah. Misalnya mengharapkan pahala 100 ribu kali lipat kalau shalat di Masjidil Haram. Menurut Nurcholish Madjid, jangan jadikan pahala itu sebagai tujuan, tapi jadikanlah sekadar motivasi.
b. Ikhlasul muhibbin (keikhlasan seseorang kepada apa yang dicintainya). Keikhlasan ini setingkat lebih tinggi, rela mengerjakan perintah karena kecintaannya pada yang menyuruh.
c. Ikhlasul 'aarifiin (keikhlasan orang-orang yang arif), yaitu taat melakukan sesuatu bukan karena mengejar pahala dan mengharapkan surga atau takut neraka, tetapi karena semata-mata mengharapkan ridla Allah.

2. Bekal taqwa.
Bekal taqwa dalam berhaji ini disuruh langsung oleh Allah dalam firman QS 2:197 di atas: "Berbekallah kamu, dan sebaik-baik bekal adalah taqwa, bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal (uulil albaab)".
Mengapa tidak cukup bekal ikhlas saja, tetapi harus pula disertai dengan bekal taqwa? Karena dalam ibadah haji ini merupakan "ta'abudi" (ibadah yang menuntut ketaatan secara penuh/total, tidak ada tawar-menawar, tidak boleh ditambah, tidak boleh dikurangi). Ibadah haji tidak perlu dirasional-rasionalkan, karena banyak yang tidak mungkin dirasionalkan. Karena sejak berangkat, mengenakan pakaian ihram dari miqat, kita sudah harus melepaskan symbol-simbol prestise berupa pakaian kita, semata-mata karena ketaatan kita pada Allah swt. Juga melaksanakan thawaf tujuh kali berjalan keliling Ka’bah, dan sa’I berjalan dari Shafa ke Marwah tujuh kali, semuanya harus kita laksanakan semata-mata karena ketaatan kita pada Allah swt. Pengamat Barat mengatakan bahwa tidak ada ritual ibadah yang demikian ditaati sepenuhnya selain ibadah haji. Tanggal 8 Dzulhijjah, semua jamaah meninggalkan Makkah menuju Mina, dan tanggal 9 Dzulhijjah semuanya menuju Arafah. Tidak ada alasan untuk tidak menaatinya.

3. Bekal sabar dan tawakkal.
Sabar dan tawakkal ini selalu bergandengan. Bekal ini sudah harus kita miliki mulai kita berangkat meninggalkan rumah, menuju asrama haji Sukolilo... Di sana keadaannya tentu berbeda dengan rumah kita, semua harus antre, masuk kamar yang berisi 3-4 tempat tidur susun berkasur tipis, semalam menginao di sana... kita rasakan bagaimana nyamuknya, bagaimana gerahnya udara, dsb. Kita menerima paspor, kartu kesehatan, boarding pass, living cost, dicek satu-persatu, harus antre. Diperlukan kesabaran... Masuk ke bus-bus yang ditentukan, juga harus sabar, menunggu semua penumpang lengkap 1 kloter (450 orang) bus baru bisa berangkat. Di pesawat pun juga harus sabar. Dalam perjalanan yang makan waktu sekitar 10 jam itu dituntut kesabaran. Mendarat di bandara King Abdul Aziz, juga dituntut kesabaran, karena semua penumpang dicek satu persatu paspornya, menunggu dan mencari koper masing-masing, perlu kesabaran. Di pemondokan pun dituntut untuk sabar, karena mungkin saja kita terpisah dari kelompok kita. Semuanya harus kita terima dengan penuh kesabaran dan berserah diri (tawakkal) kepada Allah.

Berserah diri pada Allah (tawakkal) akan memberikan ketenangan dan kekhusyukan dalam beribadah. Jangan sampai apa yang kita tinggal di tanah air mengganggu kekhusyukan dalam beribadah.

4. Bekal penghayatan makna dan pesan moral haji.
a. Al hajj madrasatul hayat (Ibadah haji adalah pelajaran hidup). Dalam ibadah haji kita dapat mempelajari kehidupan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Ibu Siti Hajar, Nabi Muhammad, penduduk Mekkah dan Madinah, bahkan bangsa-bangsa lain dari seluruh penjuru dunia yang tentunya sangat berbeda dengan kita dalam hal warna kulit, postur tubuh, bahasa, cara berpakaian, dll. Oleh karena itu sepulang haji nanti kita seharusnya menjadi paling dewasa dalam menghadapi perbedaan-perbedaan.
b. Ali Syariati mengatakan, haji adalah merupakan proses evolusi sempurna menuju Allah. Proses ini kita lalui sebagai manusia. Jangan berhenti hanya "sebagai" manusia, tetapi terus berproses untuk "menjadi" manusia sempurna ketika menuju Allah nanti.
c. Wuquf di padang Arafah, harus difahami sesuai makna sebenarnya wuquf, yaitu mewakafkan hidup kita ini kepada Allah swt, sebagaimana doa iftitah yang kita baca pada saat shalat: "inna shalaati wa nusukii, wamahyaaya, wama maati lillaahi rabbil 'aalamiin (sesungguhnya dhalatku, ibadatku, hidup dan matiku semata hanya untuk Allah seru sekalian alam)".
Sedangkan "arafah" artinya mengenal (ta'aruf). Di situ kita berkesempatan untuk lebih mengenal Rabb (Tuhan) kita, mengenal nafs (diri) kita, mengenal (urusan) dunia kita, dan mengenal musuh-musuh kita. Oleh karena itu sebaiknya kita isi saat-saat wuquf di Arafah itu dengan bermuhasabah (evaluasi diri), dan banyak-banyak berdoa untuk diri kita, keluarga kita, karib kerabat kita, bangsa kita dsb, termasuk doa-doa yang dititipkan oleh sanak saudara kita...

Wallahua'lam

Tidak ada komentar: