Selasa, Maret 16, 2010
Rokok, antara makruh dan haram
Muslim yang benar adalah muslim yang mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah karena dua hal inilah yang diawriskan Rasulullah kepada umatnya untuk hidup dengan benar dunia dan akherat. Namun demikian, kadang betapa sukarnya melaksanakan hal tersebut. Dengan berbagai alasan sering kita menjadi ingkar terhadap sunnah bahkan sering pula ingkar terhadap Al Qur’an. Banyak kejadaian yang sebenarnya wujud pengingkaran kita pada sunnah dengan dibalut berbagai alasan termasuk dengan balutan kata ijtihad.
Suatu conton yang baru saja kita lihat. Muhammadiyah baru saja mengeluarkan fatwa haramnya merokok, mengikuti apa yang telah dilakukan oleh banyak Negara Islam. Tapi Indonesia memang bukan Negara Islam sehingga fatwa bukanlah hokum. Fatwa adalah hokum bagi pengikutnya. Sedang yang bukan Islam mestinya tidak perlu bingung. Hanya karena kepentingan bisnis yang terganggu saja maka mereka menentang atau mendukung.
Yang aneh, justru pertentangan datang dari umat Islam sendiri, bagi yang setuju menyatakan akhirnya Muhammdiyah sadar juga. Bagi yang tidak setuju lebih banyak lagi alasan yang dikemukakan, mulai dari menyatakan tidak adanya ayat Al Qur’an dan Hadits yang menyebutkan tentang rokok. Adapula ulama yang menyatakan belum ada bukti bahwa merokok menyebabkan kanker seperti yang tertulis dalam bungkus rokok. Mereka berdalih dengan ungkapan yang lucu bagi mereka yang memahami pengetahuan. Ulama tersebut mengatakan tidak semua penderita kanker adalah perokok dan tidak semua perokok adalah penderita kanker. Jadi beliau simpulkan rokok bukanlah penyebab kanker.Beliau nampaknya lupa makna tulisan merokok dapat menyebabkan kanker, kata dapat bukanlah berarti harus.
Ada sebuah kisah nyata yang terjadi. Seorang ibu menderita kanker stadium 3. Ibu tersebut bersuamikan dokter anak-anaknya dokter, menantunya juga dokter dan tidak satupun yang merokok. Apakah ini berarti rokok bukan penyebab kanker? Cerita inikemudian berkembang, dicarilah siapa perokok disekitarnya. Ternyata di kantor tempat ia bekerja sang pemimpinnya adalah perokok berat. Sehingga ia terkena dampak (sebagai peroko pasif), sang pemimpin ini merasa bersalah dan ia minta maaf. Pihak keluarga mengatakan, bukan salah bapak, mungkin itumemang kehendak Allah. Hanya teman pemimpin tadi menasehati, berhentilah merokok agar tidak ada korban akibat rokok anda.
Haram artinya berdosa jika mengkonsumsinya. Muhammadiyah menyatakan haram bagi setiap warganya dan dalam setiap pertemuan berlabel Muhammadiyah, uniknya ada juga cabang yang menyerahkan keputusan pada warganya dan tidak mengikat. Nampaknya pimpinan cabang ini takut kehilangan jamaah atau dibrontak warga yang sebagian besar petani tembakau. Padahal tidakada hubungan haramnya rokok dengan larangan menanam tembakau. Tembakau dapat ditanaman bukan untuk rokok tapi dapat digunakan untuk produksi biopestisida suatu pemanfaatan yang sangat baik dan tidak bahaya. Semoga Muhammadiyah yang mengharamkan mampu memberi solusi ini sehinga dukungan semakin kuat.
Makhruh artinya boleh namun sebaiknya tidak dilakukan dengan alasan2 ilmiah dan bukan agama. Makhruh boleh dilakukan untuk umat pada umumnya sedang ulama lebih dekat kearah haram agar umay tidak mengkonsumsinya. Dalam hal rokok ternyata para kyai banyak yang justru merokok disaat berceramah di dalam masjid pula. Kenapa perbuatan makruh dicontohkan? Dan salahkan umat jika mencontoh pemimpinnya?
Andai anda tidak sepaham dengan haramnya rokok setidaknya janganlah merokok di tempat umum karena banyak pula yang terganggu. Rasulullah pernah melarang orang yang habis makan bawang shalat di masjid. Ini karena bau bukan bawangnya, dia boleh shalat dirumah. Apalagi rokok yang jelas sering mengganggu orang lain.
Semoga ada keasadaran diantara kita untuk hiduplebih sehat, baik secara fisik atau nurani.
Kamis, Maret 11, 2010
Fatwa PP Muhammadiyah: Merokok Haram!
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, melalui Majlis Tarjih dan Tajdid, mengeluarkan fatwa baru terhadap hukum merokok. Setelah menelaah manfaat dan mudarat rokok, Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berkesimpulan bahwa merokok secara syariah Islam masuk dalam kategori haram. Keputusan ini diambil dalam halaqoh tentang Pengendalian Dampak Tembakau yang diselenggarakan Majlis Tarjih dan Tajdid pada 7 Maret lalu di Yogyakarta.
”Fatwa ini diambil setelah mendengarkan masukan dari berbagai pihak tentang bahaya rokok bagi kesehatan dan ekonomi. Di samping itu, kami juga melakukan tinjauan hukum merokok. Berdasarkan masukan dari halaqoh itu, kemudian dirapatkan oleh Majlis Tarjih dan Tajdid dan mengeluarkan amar keputusan bahwa merokok adalah haram hukumnya,” kata Ketua PP Muhammadiyah Bidang Tarjih Dr Yunahar Ilyas dalam jumpa pers di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Selasa (9/3/2010).
Fatwa baru ini sekaligus merevisi fatwa sebelumnya yang menyatakan bahwa hukum rokok mubah. ”Fatwa bahwa merokok mubah selama ini terjadi karena berbagai dampak negatif merokok bagi kesehatan, sosial, dan ekonomi, semakin dirasakan oleh masyarakat,” ungkap Yunahar.
Fatwa bahwa merokok mubah masih dipertahankan oleh PP Muhammadiyah hingga 2007. Artinya, boleh dikerjakan, tetapi lebih baik jika ditinggalkan. Perubahan fatwa menjadi haram dinilai sebagai keputusan yang akan membawa manfaat. Mengingat, banyaknya efek negatif akibat terpapar asap rokok.
Melalui fatwa ini, Yunahar mengatakan, PP Muhammadiyah ingin mengingatkan seluruh lapisan masyarakat akan bahaya mengisap lintingan tembakau ini. ”Karena dampak negatifnya, maka pembelanjaan uang untuk merokok adalah perbuatan mubazir,” ujarnya.
Dalam salah satu amar keputusannya, diimbau kepada yang belum merokok, wajib menghindarkan diri dari merokok. Bagi yang sudah merokok, wajib berupaya untuk menghentikan dari kebiasaan merokok. ”Dengan dikeluarkannya fatwa ini, maka fatwa tahun 2005 yang menyatakan merokok mubah dinyatakan tidak berlaku lagi,” kata Yunahar lagi.
Pelaksanaan Fatwa Haram Merokok yang dikeluarkan Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini akan dibawa dan dikukuhkan dalam Rapat Pleno PP Muhammadiyah dan ditindaklanjuti dengan surat keputusan resmi. Dijelaskan Yunahar, surat keputusan tersebut berisi instruksi mengikat kepada seluruh jajaran organisasi, lembaga-lembaga amal usaha, seperti sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, dan berbagai fasilitas Muhammadiyah di seluruh Indonesia.
Kamis, Maret 04, 2010
HUKUM WANITA BEROBAT KE DOKTER LAKI-LAKI
"apa pendapat Syaikh yang mulia dalam perkara yang banyak ditanyakan dan sangat memberatkan kaum muslimin, yaitu masalah seorang wanita bersama dokter lelaki, dengan apa engkau menasehati para akhwat muslimah seputar masalah ini, demikian pula (nasehat buat) penguasa?
Beliau menjawab:
Tidak diragukan lagi bahwa permasalahan seorang wanita dan dokter laki-laki adalah perkara yang penting, dan pada hakekatnya cukub banyak melelahkan, namun jika Allah memberi rezki kepada seorang wanita berupa ketakwaan dan ilmu,maka dia tentunya akan menjaga dirinya dan sangat memperhatikan hal ini. Tidak boleh seorang wanita berkhalwat dengan dokter
laki-laki, dan tidak boleh pula seorang dokter lelaki berkhalwat dengannya dan telah terbit perintah dan penjelasan tentang terlarangnya hal itu dari penguasa (Arab Saudi,pen). Hendaknya seorang wanita memperhatikan masalah ini dan berusaha mencari dokter wanita yang mencukupi. Jika para dokter wanita itu telah ada alhamdulillah, sehingga tidak butuh lagi kepada dokter lelaki.
Jika kebutuhan mendesak untuk mendatangi dokter lelaki disebabkan karena tidak adanya dokter wanita, maka tidak mengapa–dalam kondisi butuh tersebut- untuk membuka (aurat) dan berobat. Ini termasuk perkara yang dibolehkan disaat dibutuhkan, namun hendaknya tidak membuka aurat dalam kondisi khalwat, tapi harus disertai mahramnya,atau suaminya jika membuka aurat yang biasa nampak seperti kepala, tangan dan kaki, atau yang semisalnya. Namun jika yang disingkap adalah aurat-aurat tertentu (yang lebih sensitif,pen) maka hendaknya ditemani suaminya, atau seorang wanita, ini lebih baik dan lebih berhati-hati. Atau ditemani seorang perawat wanita atau dua orang yang hadir disitu, namun jika ada seorang wanita yang bersamanya selain perawat, hal itu lebih baik dan lebih berhati-hati dan lebih jauh dari hal yang meragukan. Adapun berkhalwat maka hal itu tidak boleh.
(Fatawa wa maqalaat Syaikh Bin Baaz rahimahullah: 5/371, Syamilah)
Untuk melihat lengkapnya di http://salafybpp. com
--
http://semenit. net/
http://warungislami .com/