Bacillus thuringiensis telah diisolasi pada awal abad ke-20 di Jepang dari penyakit ulat sutra dan di Jerman dari penyakit “mealmoth”. Bakteri ini bermanfaat sebagai agen pengontrol bagi pertumbuhan Lepidoptera yang kemudian diketahui lebih lanjut setelahnya, dan baru dikembangkan secara komersial 40 tahun kemudian. Bacillus juga merupakan sumber antibiotik, penghasil flavor seperti nukleosida purin, surfaktan dan beberapa produk lainnya (Rehm, et. al, 1999).
Bacillus thuringiensis termasuk ke dalam grup Bacillus substilis yang memiliki karakteristik diantaranya: memproduksi asam dari berbagai jenis gula bahkan glukosa, organisme fakultatif an aerob, dapat tumbuh dengan cukup baik jika terdapat nitrat, sporanya berbentuk elips dan tidak dapat memperbesar diri, serta dapat menghasilkan enzim ekstraseluler seperti amylase, β-glukonase, dan protease (Rehm, et. al, 1999).
Bacillus thuringiensis tidak hanya digunakan sebagai pengontrol Lepidoptera, tapi juga dapat digunakan untuk membasmi larva koleoptera atau diptera (lalat, nyamuk). Produk ini digunakan pada tanaman atau lingkungan lainnya dimana terdapat larva insekta. Beberapa gen racunnya juga telah dikulturkan ke dalam beberapa tanaman pangan (Deacon, 2000).
Sel vegetatif Bacillus thuringiensis memiliki lebar 1 mikron dan panjang 5 mikron, dan bergerak. Bacillus thuringiensis digunakan sebagai pengendali hama karena sifatnya yang spesifik terhadap hama dan tidak berbahaya bagi manusia, ikan, burung, anijng, babi, tikus, dll atau hama-hama tanaman lainnya, juga tidak bersifat karsinogenik. Kemampuannya sebagai pengendali hama disebabkan oleh kristal protein yang diproduksinya. Produk Bt komersial mengandung spora Bt sebesar 2.5 x 1011 spora / gram. Produk Bt berkurang efektifvitasnya jika disimpan lebih dari enam bulan (Annonymous, 2005a).
Bacillus thuringiensis secara langsung dapat menyebabkan kematian pada insekta, dan isolasi racun dari beberapa strain menberikan pengaruh yang berbeda-beda. Bt memiliki pengaruh yang besar dalam pertanian. Pada tahun 1997, Bt digunakan untuk tanaman kapas, jagung dan kentang di Amerika ( Neppl, 2000).
Bacillus thuringiensis menghasilkan dua macam racun,. Racun yang utama disebut Cry (kristal) toksin, dikodekan dengan gen cry yang berbeda, dan inilah yang mendasari pengklasifikasian Bt. Tipe kedua adalah Cyt (cytolytic) toksin yang dapat menambah Cry toksin untuk mengontrol insekta (Deacon, 2000). Cry toksin hanya mengenali daerah tertentu dari insekta. Gen cyt dapat menyerang diptera dan koleptera, dan dapat juga menyerang hemiptera dan diktioptera (Frutos et al, 1999). Cyt toksin tidak seperti cry toksin karena tidak dapat mengenali daerah secara khusus (Lereclus et al, 1993).
Mekanisme kerja racun Bt adalah setelah Bt masuk ke dalam perut larva, maka kristalnya akan masuk kedalam usus larva. Kemudian enzim dalam usus akan memecah kristal dan mengaktivkan komponen insktisida Bt yang disebut δ-endotoksin. Delta endotoksin berikatan dengan sel yang menempel pada dinding membran usus dan membentuk lubang pada membrane, dan mengganggu keseimbangan ion dalam usus. Insekta akan berhenti makan dan kelaparan kemudain mati. Jika insekta tidak terpengaruh secara langsung oleh kerja δ-endotoksin, kematian pada insekta terjadi setelah pertumbuhan vegetatif Bt di dalam usus insekta. Spora tumbuh setelah dinding usus hancur, dann kemudian memproduksi semakin banyak spora. Infeksi yang semakin meluas pada tubuh ensekta menyebabkan kematian pada insekta tersebut (Swadener, 1994).
Lebih dari 40 tahun formula Bt dan δ-endotksin-nya telah diproduksi secara komersial. Beberapa diantaranya telah banyak diaplikasikan dalam pertanian untuk mengendalikan hama, tapi biayanya sangat tinggi terutama untuk Negara berkembang. Sehingga perlu memproduksi Bt dengan menggunakan bahan-bahan lokal yang tersedia dan menguntungkan (Pragabaran, et al., 2004)
Produksi Bt secara komersial sangat penting secara ekonomi dan dalam rangka meningkatkan produksinya dibutuhkan sumber daya manusia, teknologi alat produksi dan kontrol, bahan baku yang tersedia dan murah, mikroorganisme yang medah beradaptasi dan fasilitas bioassay. Hal tersebut akan mengurangi biaya produksi dan meningkatkan jumlah produk yang dihasilkan sehingga dapat digunakan baik untuk kepentngan pertanian atau program kesehatan (Behle, et al, 1997; Kroeger, et al., 1995).
Bacillus thuringiensis sorovar israelensis (Bti) telah digunakan secara luas sejak tahun 1980 dalam beberapa program pengendalian lalat buah dan nyamuk . Hal ini disebabkab karena kemampuan sracunnya yang tinggi terhadap organisme sasaran (spesifik) dan aman bagi lingkungan (Regis and Nielson-Leroux, 2000).
Bti adalah strain bakteri yang memproduksi kristal protein yang beracun bagi larva nyamuk dan lalat buah. Kristal ini berfungsi sebagai racun di dalam perut karena diaktivasi oleh enzim pencernaan alkalin yang terdapat dalam usus larva nyamuk. Binding usus akan pecah beberapa jam setelah Bti masuk ke dalamnya dan setelah 24 sampai 48 jam, larva nyamuk akan mati (Annoymous, 2005b).
Bti memproduksi kristal protein insektisida (ICPs) yang memiliki kemampuan membasmi larva beberapa jenis dari ordo Diptera seperti lalat dan nyamuk. Hidrolisis ICP dalam usus larva akan menghasilkan empat protein utama dengan berat molekul 27, 65, 128 dan 135 kDa. Daya racunnya disebabkan karena interaksi sinergisme antara protein 25-kDa dan satu/lebih dari protein lainnya (Lee, et al., 2003).
Bti mengandung sedikitnya lima polipeptida yang menghasilkan kristal paraspora (δ-endotoksin) yang dikodekan dengan gen-gen respektif yang banyak dihasilkan pada masa sporulasi (Federici, et al., 1990; Porter, et al., 1993).
Bti (sorovar H14) adalah bakteri yang khusus memproduksi δ-endotoksin. Oleh karena itu Bti (sorovar H14) merupakan salah satu agen pengontrol biologi yang terbaik (de Barjac, and Sutherland, 1990). Kemampuannya dalam membasmi nyamuk terdapat dalam lima polipeptida yang terdapat dalam tubuh kristalin paraspora (δ-endotoksin) (Hofte and Whiteley, 1989; Margalit, et al., 1995).
Meskipun kemampuan racunnya terhadap larva nyamuk sangat bagus, tapi kemampuan Bti di lapang sangat terbatas karena partikel-partikelnya akan mengndap dengan cepat seiring dengan waktu pertumbuhan larva. Salah satu upaya untuk mengatasi keterbatasan ini adalah dengan kloning gen Bti pada organisme yang hidup di daerah perkembangbiakan nyamuk dan menggunakannya sebagai sumber makanan (Boussiba, and Wu, 1995; Thiery et al., 1991). Cyanobakteri dapat dipegunakan sebagai organismen yang cocok untuk tujuan ini (Zaritsky, 1995; Boussiba, and Wu, 1995; Boussiba, and Zaritsky, 1992).
Untuk mengontrol larva nyamuk, Bti ditempatkan di daerah denangan air dimana larva hidup sepeti selokan dan danau yang dangkal. Bakteri ini menyebabkan kerusakan pada sistem pencernaan larva nyamuk dan menyebabkan kematian jika dimakan olehnya. Racun Bti dapat terbiodegradasi dengan cepat pada lingkungan karena pengaruh sinar matahari dan mikroorganisme sehingga aman bagi lingkungan (Annonymous, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar